Anda di halaman 1dari 16

Wayang Purwa

Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 17.26

Wayang Purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasan ceritanya bersumber pada kitab
Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut dapat berupa wayang kulit, wayang golek atau
wayang wong (orang). Pendapat para ahli, istilah purwa tersebut berasal dari kata parwa yang
berarti bagian dari cerita Ramayana atau Mahabharata. Di kalangan masyarakat Jawa,
terutama orang-orang tua kata purwa sering diartikan pula purba artinya zaman dulu. Sesuai
dengan pengertian tersebut, maka wayang purwa diartikan pula sebagai wayang yang
menyajikan cerita-cerita zaman dahulu. Pada wayang jenis ini banyak kita jumpai beberapa
ragam, sejarah, asal mulanya antara lain :

2.3.2.1 Wayang Rontal (939)

Prabu Jayabaya dari kerajaan Majapahit, yang gemar sekali akan wayang, membuat gambar-
gambar dan cerita-cerita wayang pada daun tal dalam tahun 939 Masehi (861 Caka dengan
sengkalan: gambaring wayang wolu). Wayang tersebut dinamakan wayang Rontal (rontal
yaitu daun tal dari pohon Lontar: Bali, Jakarta; Siwalan: Jawa)

2.3.2.1.1 Wayang Kertas (1244)

Karena gambar-gambar yang terdapat pada daun tal itu terlalu kecil untuk dipertunjukan,
maka Raden Kudalaleyan atau yang disebut Prabu Surya Hamiluhur dari Pajajaran
memperbesar gambar wayang tersebut di atas kertas pada tahun 1244 (1166 Caka, dengan
sengkalan: hyang gono rupaning jalmo).

2.3.2.2 Wayang Beber Purwa (1361)


Prabu Bratono dari kerajaan Majapahit membuat wayang Beber Purwa untuk ruwatan pada
tahun 1361 (1283 Caka, dengan sengkalan: gunaning pujangga nembah ing dewa). Pendapat
tersebut tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389 yang bertahta di
Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apabila Prabu Bratono adalah juga Prabu
Hayam Wuruk. Wayang Beber Purwa dimaksudkan suatu pergelaran wayang mBeber cerita-
cerita purwa (Ramayana atau Mahabharata).

2.3.2.3 Wayang Demak (1478)

Berhubung wayang Beber mempunyai bentuk dan roman muka seperti gambar manusia,
sedangkan hal itu sangat bertentangan dengan agama dan ajaran Islam, maka para Wali tidak
menyetujuinya. Penggambaran manusia merupakan kegiatan yang dinilai menyamai, setidak-
tidaknya mendekati kekuasaan Tuhan. Hal tersebut di dalam ajaran Islam adalah dosa besar.
Akhirnya wayang Beber kurang mendapat perhatian oleh masyarakat Islam dan lenyaplah
wayang Beber tersebut dari daerah kerajaan Demak. Kemudian para Wali menciptakan
wayang purwa dari kulit yang ditatah dan disungging bersumber pada wayang zaman Prabu
Jayabaya. Bentuk wayang diubah sama sekali, sehingga badan ditambah panjangnya, tangan-
tangan memanjang hampir mendekati kaki. Selain itu leher, hidung, pundak dan mata
diperpanjang supaya menjauhi bentuk manusia.

Yang tinggal hanya gambaran watak manusia yang tertera pada bentuk wayang purwa tadi.
Hal ini dilakukan pada tahun 1518 (1440 Caka, dengan sengkalan: sirna suci caturing dewa).
Dan pada tahun 1511 (1433 Caka, dengan sengkalan: geni murub siniraming wong), semua
wayang Beber beserta gamelanya diangkut ke Demak, setelah kerajaan Majapahit runtuh
pada tahun 1478. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wayang Kulit Purwa
seperti yang kita lihat sekarang ini merupakan penjelmaan dari hasil ciptaan para Wali
Sembilan (Wali Sanga) dalam abad ke-XVI.

2.3.2.4 Wayang Keling (1518)

Wayang Keling merupakan satu-satunya jenis wayang di daerah pesisir utara pulau Jawa,
yakni di Pekalongan. Munculnya wayang tersebut berkaitan dengan masuknya agama Islam
di Jawa, menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 – 1522). Masa per golakan
Majapahit (Paregreg), membuat orang-orang yang kokoh mempertahankan agama Hindu-
Budha-nya lari berpencar ke daerahdaerah lain dan keturunan-keturunan mereka kemudian
menciptakan seni budaya baru dengan cerita-cerita pewayangan baru. Meskipun dalam
sepintas lalu wayang Keling tersebut mirip wayang kulit Jawa, namun perbedaan nampak
menonjol pada gelung cupit urang yang tidak sampai pada ubun-ubun. Antawacananya
memakai bahasa rakyat setempat, dan satu hal yang menarik dalam pagelaran wayang Keling
tersebut ialah bahwa tokoh Wisanggeni dan Wrekodara bisa bertata krama dengan
menggunakan bahasa halus (Kromo Inggil).

Keling, seperti yang disebutkan dalam buku karya dua penulis R. Suroyo Prawiro dan
Bambang Adiwahyu, semula bermaksud mengenang nenek moyang mereka yang datang dari
Hindustan masuk ke Jawa untuk pertama kalinya, di samping itu juga sebagai kenang-
kenangan dengan adanya kerajaan Budha di Jawa yang disebut kerajaan Kalingga. Wayang
Kelingpun jauh berbeda dengan Wayang Purwa. Silsilah wayang tersebut rupanya paling
lengkap sejak zaman Nabi Adam, Sang Hyang Wenang hingga Paku Buwono IV yaitu raja
Surakarta (Th. 1788 – 1820). Hal tersebut kiranya kurang rasioanl, mengingat tidak adanya
buku-buku atau catatan-catatan resmi yang menyatakan bahwa Sang Hyang Wenang adalah
keturunan Nabi Adam. Dalam pementasan wayang Keling, dalang berfungsi pula sebagai
Pendita atau Bikhu dengan memasukkan ajaran-ajaran dari kitab Weda ataupun Tri Pitaka
dalam usaha melestarikan agama Hindu dan Budha. Dengan demikian sang dalang termasuk
juga sebagai pengembang faham Jawa (Kejawen) di daerah Pekalongan dan sekitarnya.

2.3.2.5 Wayang Jengglong

Selain wayang Keling, di Pekalongan masih terdapat pula pedalangan wayang Purwa khas
Pekalongan yang disebut wayang Jengglong. Pergelaran wayang Jengglong menggunakan
wayang purwa wanda khas Pekalongan dengan iringan gamelan laras Pelog. Sumber cerita
pada umumnya diambil dari buku Pustaka Raja Purwa Wedhoatmoko.

2.3.2.6 Wayang Kidang Kencana (1556)

Wayang ini diciptakan oleh Sinuwun Tunggul di Giri yang tidak jelas dimana letak
kerajaannya pada tahun 1556 (1478 Caka, dengan sengkalan: salira dwija dadi raja).
Wayang Kidang Kencana berukuran lebih kecil dari pada wayang purwa biasa. Tokoh-tokoh
diambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Dalang-dalang wanita serta dalang anak-
anak pada umumnya memakai wayang-wayang tersebut untuk pergelaranya, karena wayang
Kidang Kencana tidak terlalu berat dibanding dengan wayang pedalangan biasa.

2.3.2.7 Wayang Purwa Gedog (1583)

Raden Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya (1546 – 1586) dari kerajaan
Pajang membuat Wayang Purwa Gedog pada tahun 1583 (1505 Caka, dengan sengkalan:
panca boma marga tunggal). Sangat disayangkan budayawan-budayawan Indonesia tidak
menjelaskan bagaimana bentuk tokoh-tokoh wayang serta cerita untuk pergelaran wayang
tersebut.

2.3.2.8 Wayang Kulit Purwa Cirebon

Perkembangan seni pewayangan di Jawa Barat, terutama bentuk wayang kulitnya, berasal
dari wayang kulit Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal itu terbukti dari bentuk wayang purwa
Cirebon yang kini hampir punah, serupa dengan bentuk wayang Keling Pekalongan, yakni
gelung cupit urang pada tokoh-tokoh seperti Arjuna, Bima, Gathotkaca dan lain-lainya tidak
mencapai ubun-ubun dan tokoh wayang Rahwana berbusana rapekan seperti busana wayang
Gedog. Menurut para sesepuh di Cirebon, babon dan wayang kulit Cirebon memang
mengambil cerita dari kitab Ramayana dan Mahabharata, tetapi sejak semula tersebut telah
dikembangkan dan dibuat dengan corak tersendiri oleh seorang tokoh yang disebut Sunan
Panggung. Cirebon berpendapat bahwa tokoh Sunan Panggung tersebut merupakan indentik
dengan Sunan Kalijaga, seorang Wali penutup dari jajaran dewan Wali Sanga.

Maka dengan demikian, jelaslah bahwa materi Ramayana dan Mahabharata yang Hinduis itu
telah banyak diperbaiki dan diperbaharui serta disesuaikan dengan dasardasar ajaran Islam.
Selain itu, satu hal yang relevan dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa para dalang wayang
kulit ataupun dalang-dalang wayang Cepak di Cirebon memperoleh ajarannya dari cara-cara
tradisional. Ia menjadi dalang dengan petunjuk ayahnya atau kakeknya yang disampaikan
secara lisan, sehingga sulit bagi kita untuk menghimpun sastra lisan tersebut sekarang ini. Di
wilayah Jawa Barat sedikitnya terdapat empat versi kesenian wayang kulit, yakni versi
Betawi, Cirebon, Cianjur, serta Bandung dan masing-masing menggunakan dialeg daerah
setempat. Melihat akan wilayah penyebaran kesenian wayang kulit yang bersifat kerakyatan
itu, maka nampaklah suatu rangkaian yang hampir saling bersambungan dengan wilayah
Banyumas, Pekalongan, Cirebon, Purwakarta, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, hingga
Banten.

Nampaknya kesenian Wayang Kulit Cirebon masih mendapat tempat baik di lingkungan
masyarakatnya dan penyebaranya dengan bahasa Cirebon Campuran yaitu campuran Jawa
dan Sunda yang meliputi daerah-daerah seperti Kuningan, Subang, Majalengka, bahkan
sampai Kabupaten Kerawang bagian timur. Suatu ciri khas pada pagelaran Wayang Kulit
Cirebon adalah katerlibatan para penabuh gamelan (niyaga) yang bukan hanya melatar
belakangi pertunjukan dengan alat musiknya, tetapi dengan senggakan-senggakan lagu yang
hampir terus-menerus selama pergelaran berlangsung. Difusi kebudayaan tersebut berjalan
lama serta mantap, dan peranan Wali Sanga sebagai faktor dinamik dan penyebar unsur
peradaban pesisir tidak boleh dilupakan begitu saja. Contoh menarik peranan Wali Sanga
yang berkaitan dengan Cirebon sebagai salah satu komponen peradaban pesisir adalah unsur
kebudayaan dalam ungkapan kegiatan religi, mistik dan magi yang membaur dan nampak
dalam pertunjukan wayang.

Para Wali sangat aktif dalam penciptaan-penciptaan seni pedalangan dan memanfaatkan seni
karawitan untuk mengIslamkan orang-orang Jawa. Simbolisme dan ungkapannya nampak
paling kaya dari seni karawitan dan seni pedalangan yang dimanfaatkan dalam setiap
dakwahnya. Satu hal yang khas pula dalam jajaran wayang Kulit Cirebon, ialah apabila
jumlah panakawan di daerah lainnya hanya empat orang, maka keluarga Semar ini berjumlah
sembilan orang yakni Semar, Gareng, Dawala, Bagong, Curis, Witorata, Ceblek, Cingkring,
dan Bagol Buntung, yang semuanya itu melambangkan sembilan unsur yang ada di dunia
serta nafsu manusia, atau melambangkan jumlah Wali yang ada dalam melakukan dakwah
Islam.

2.3.2.9 Wayang Kulit Purwa Jawa Timur

Seperti halnya dengan daerah-daerah lainnya, antara lain Cirebon, Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Timur pun mempunyai wayang kulit dengan coraknya
sendiri dan sering di sebut wayang Jawatimuran atau wayang Jek Dong. Sebutan Jek Dong
berasal dari kata Jek yaitu bunyi keprak dan Dong adalah bunyi instrumen kendang.
Meskipun menggunakan pola wayang Jawa Tengah sesudah zaman masuknya agama Islam
di Jawa, wayang kulit Jawatimuran mempunyai sunggingan dan gagrag tersendiri dalam
pergelaranya, sesuai dengan apresiasi dan kreativitas selera masyarakat setempat.

Bentuk dan corak wayang kulitnya condong pada gaya Yoyakarta, terutama wayang
perempuan (putren). Hal ini membuktikan bahwa sejak runtuhnya kerajaan Majapahit,
kebangkitan kembali wayang kulit Jawatimuran dimulai sebelum terjadinya perjanjian
Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Konon tercatat bahwa wayang gagrag Surakarta merupakan perkembangan
kemudian setelah perjanjian Giyanti terlaksana. Ciri khas wayang kulit Jawatimuran yang
mencolok terdapat pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala (irah-
irahan) gelung yang dikombinasi dengan makutha (topong atau kethu dewa). Ciri lain
terdapat pada tokoh wayang Bima dan Gathotkaca,

yang di Jawa Tengah berwajah hitam atau kuning keemasan, namun di Jawa Timur berwajah
merah. Beberapa tokoh dalang Jawatimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti
melambangkan watak angkara murka namun melambangkan watak pemberani.

Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wayang Jawa Tengah memiliki pola
penggambaran karakter (wanda) yang mirip dengan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada
wayang kulit Jawatimuran Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasana atau Pragota.
Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum mengalami perubahan bentuk
(deformasi) diperlihatkan oleh bentukbentuk arca pada relief di dinding candi Sukuh di
gunung Lawu sebelah barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan perkelahian Bima
melawan raksasa dengan menunjukkan angka tahun 1361 Caka atau 1439 masehi. Jadi masih
dalam zaman pemerintahan Prabuputri Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447). Pada
masa peralihan ke zaman Islam, wayang kulit Purwa Jawatimuran Kuna sudah lama
berkembang dengan sempurna, mengingat kekuasaan kerajaan Majapahit sebelumnya yaitu
yang meluas ke seluruh Nusantara, maka pedalangan Jawatimuran-pun sudah populer di
daerah Jawa Tengah.

Dalam pergelaran wayang kulit gagrag Jawatimuran mempunyai karakteristik tersendiri


dengan memiliki empat jenis pathet, yaitu pathet Sepuluh (10), pathet Wolu (8), pathet Sanga
(9), dan pathet Serang, sedangkan di Jawa Tengah lazim mengenal tiga pathet, yaitu pathet
Nem (6), pathet Sanga (9), dan pathet Manyura. Jumlah panakawan wayang kulit
Jawatimuran juga berbeda. Jumlah nakawan yang ada di wayang kulit purwa Cirebon dengan
sebanyak sembilan panakawan, Jawa Tengah dengan empat panakawan, maka panakawan
dalam wayang kulit Jawatimuran ini hanya memiliki dua panakawan, yaitu Semar dan
Bagong Mangundiwangsa. Kedua tokoh panakawan yang bersifat dwi tunggal itu agaknya
menjadi ciri khas dalam dunia wayang Jawatimuran.

Jumlah panakawan dalam wayang Jawatimuran lainya dapat kita jumpai pada cerita-cerita
Panji yang menampilkan Bancak dan Doyok atau Judeh dan Santa (Jurudyah dan Prasanta),
sedangkan dalam lakon Darmarwulan kita temui panakawan Nayagenggong dan Sabdapalon
seperti nampak pada lukisan-lukisan relief candi di Jawa Timur. Dengan demikian terdapat
suatu kesimpulan, bahwa tokoh panakawan tersebut pada mulanya hanya dua orang. Hal ini
besar kemungkinan ada kaitanya dengan alam dan falsafah kejawen, bahwa pasangan
panakawan Semar dan Bagong tersebut merupakan lambang alam kehidupan manusia yang
bersifat roh dan wadag. Semar merupakan rohnya dan Bagong memanifestasikan
kewadagannya. Namun dalam perkembangannya panakawan diwayang Jawatimuran
bertambah, yaitu Besut dengan perwujudan seperti Bagong hanya lebih kecil. Besut dalam
wayang Jawatimuran berperan sebagai anak Bagong.

Bangkitnya kembali wayang kulit Jawa Tengah yang ditunjang oleh kalangan atas yaitu
kalangan kraton, berkembang pula seni pedalangan wayang kulit Jawatimuran pada
perbedaan tingkat dan prosesnya. Ia berkembang bukan dari kalangan kraton malainkan dari
tingkah bawah ke masyarakat banyak. Daerah perkembangan wayang kulit Jawatimuran
meliputi daerah Surabaya, Sidoarjo, Pasuruhan, Malang, Mojokerto, Jombang, Lamongan
dan Gresik.
2.3.2.10 Wayang Golek (1646)

Sesuai dengan bentuk dan cirinya yang mirip boneka, bulat yang dibuat dari kayu, maka
disimpulkan bahwa, berdasarkan bentuk yang mempunyai ciri-ciri seperti boneka itu,
sehingga benda tersebut dinamakan wayang Golek. Pada akhir pergelaran wayang kulit
purwa, maka dimainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan di namakan Golek. Dalam
bahasa Jawa, golek berarti mencari. Dengan memainkan wayang Golek tersebut, dalang
bermaksud memberikan isyarat kepada para penonton agar seusai pergelaran, penonton
mencari (nggoleki) intisari dari nasehat yang terkandung dalam pergelaran yang baru lalu.
Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah sehingga dinamakan wayang Golek.

Wayang-wayang tersebut diberi pakaian, kain dan baju serta selendang (sampur), dan dalam
pementasanya tidak menggunakan layar (kelir). Sebagai pengganti lampu penerang pada
wayang (blencong), sering dipakainya lampu petromak atau lampu listrik. Boneka- bonela
kayu ini diukir dan disungging menurut macam ragamnya, sesuai dengan tokoh-tokoh
wayang dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Wayang Golek yang terbuat dari kayu dan
berbentuk tiga dimensi itu, kepalanya terlepas dari tubuhnya. Ia dihubungkan oleh sebuah
tangkai yang menembus rongga tubuh wayang dan sekaligus merupakan pegangan dalang.
Melalui tangkai itulah dalang dapat menggerakkan kepala wayang dengan gerakan menoleh,
serta dalang dapat menggerakan tubuh wayang dengan gerakan naik-turun.

Tangan-tangan wayang Golek dihubungkan dengan seutas benang, sehingga sang dalang
dapat bebas menggerak-gerakannya. Dalam buku Wayang Golek Sunda, karangan Drs. Jajang
Suryana, M.Sn, dikatakan: “Munculnya wayang Golek Purwa di Priyangan secara pasti
berkaitan dengan wayang Golek Menak Cirebon yang biasa disebut wayang Golek Papak
atau wayang Golek Cepak”. Kaitannya antara kedua jenis wayang itu hanya sebatas
kesamaan raut golek yang tiga demensi (trimatra), sementara unsur cerita golek yang secara
langsung akan menentukan raut tokoh golek, sama sekali berbeda. Golek Menak bercerita
tentang Wong Agung Menak, Raja Menak atau Amir Hamsyah yang berunsur cerita Islam.
Sedangkan Golek Purwa bercerita tentang kisah yang bersumber dari agama Hindu yaitu
Mahabharata dan Ramayana. Cerita yang dipentaskan umumnya cerita Ramayana dan
Mahabharata, namun ada jenis wayang Golek yang mementaskan cerita Panji atau cerita
Parsi yang bernuansa Islam.

Daerah Jawa Barat yang pertama kali kedatangan wayang Golek adalah daerah Cirebon.
Wayang tersebut kemudian masuk ke daerah Priangan dan mulai digemari masyarakat Sunda.
Pementasan wayang Golek tersebut menggunakan bahasa masyarakat Pasundan Jawa Barat.
Pada umumnya masyarakat Jawa Barat menyebut wayang itu wayang Golek Sunda atau
Golek Purwa, yang dalam pementasanya mengambil cerita-cerita berdasarkan kitab
Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut telah ada sebelum wayang Golek Menak
diciptakan, yakni pada masa pemerintahan Prabu Amangkurat I di Mataram (1646 – 1677).

Pada pembukaan seminar pedalangan Jawa Barat I pada tanggal 26-29 Februari 1964 di
Bandung, telah diwujudkan dan diciptakan wayang Golek baru, yang sesuai dengan
perkembangan zaman, kemudian atas keputusan para pengurus yayasan pedalangan Jawa
Barat wayang dengan bentuk pemanggungan yang baru tersebut, diberi nama Wayang
Pakuan. Dalam pergelaran wayang Golek Pakuan tersebut dipentaskan pula cerita-cerita
Babad Pajajaran, penyebaran agama Islam di Jawa Barat dan datangnya bangsa asing di
Indonesia. Dengan cerita-cerita tersebut di atas maka tokohtokoh dalam wayang Golek
Pakuan di antaranya seperti Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran serta Jan Pieterzoon
Coen atau Murjangkung, Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Pada awal abad ke-XIX Pangeran Kornel seorang Bupati Sumedang, Jawa Barat, terkenal
sebagai pencipta wayang Golek Purwa Sunda yang bersumberkan pada wayang Golek Cepak
dari Cirebon. Sejak munculnya wayang Golek Purwa Sunda tersebut, maka kesenian itu
menjadi sangat populer dan dapat merebut hati rakyat Jawa Barat umumnya serta orang-
orang Sunda di daerah Priangan Khususnya. Di daerah Jawa Tengah terdapat wayang golek
dengan berbagai macam jenis dan disesuaikan dengan lakon pergelarannya. Tetapi pada
umumnya wayang golek tersebut berbentuk wayang Golek Menak. Cerita pada umumnya
adalah cerita-cerita Menak Wong Agung Jayengrana, yang bersumber pada serat Menak.
Wayang golek tersebut kemudian terkenal dengan sebutan wayang Thengul.

Di Jawa Barat-pun terdapat wayang Golek Menak dengan cerita yang sama, bernafaskan
Islam, yaitu kisah Amir Hamzah (paman Nabi Muhammad s.a.w.) beserta tokoh-tokoh
lainnya seperti raja Jubin, Adam Billis, Tumenggung Pakacangan, Suwangsa, Pringadi, Panji
Kumis, Raden Abas dan Umarmaya. Wayang-wayang tersebut disebut wayang Bendo.
Sesudah kerajaan Demak runtuh, kraton pindah ke Pajang dan sebagian wayang-wayang di
bawa ke Cirebon karena kerajaan Cirebon mempunyai hubungan yang erat dengan Demak.
Maka tidak mengherankan kalau di Cirebon terdapat wayang Golek Purwa bercampur dengan
wayang Golek Menak, sehingga dalam pementasannya disebut wayang Cepak.

Wayang Golek Cepak tersebut membawakan lakon Menak dan disamping itu membawakan
pula cerita-cerita sejarah perkembangan agama Islam di Jawa. Seirama dengan
perkembangan serta kemajuan zaman dalam modernisasi wayang, sejak tahun 70-an wayang
Golek Sunda ini dilengkapi dengan pemakaian keris serta Praba yang terbuat dari kulit
berukir (ditatah dan disungging) untuk tokoh- tokoh wayang tertentu, seperti Kresna,
Gathotkaca, Baladewa, Rahwana dan lainnya.

2.3.2.11 Wayang Krucil (1648)

Raden Pekik di Surabaya membuat wayang Krucil pada tahun 1648 (1571 Caka, dengan
sengkalan: watu tunggangngane buta widadari). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan)
berbentuk seperti wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya terbuat dari
kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada umumnya di siang hari dan tidak menggunakan
kelir. Kemudian untuk seterusnya wayang Klithik ini digunakan untuk pergelaran cerita
Damarwulan- Minakjingga, sedang wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab
Mahabharata, yang kemudian wayang tersebut disebut wayang golek Purwa. Cerita
Damarwulan-Minakjingga adalah melambangkan pertentangan antara Damarwulan sebagai
bulan dan Minakjingga sebagai matahari.

Wayang Klithik juga mengenal ciri-ciri menurut gayanya antara lain gaya Yogyakarta, gaya
Surakarta, dan gaya Mangkunegaran. Pada gaya Yogyakarta bentuk wayang tersebut nampak
kurang anatomis terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada bentuk primitif.
Sedangkan gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran mendekati bentuk wayang kulit yang
nampak arstistik dan mengarah pada sifat kehalusan dan ketenangan. Untuk mengiringi
pertunjukan wayang Klithik dipakainya gamelan dengan laras Slendro yang berjumlah lima
macam, yakni kendang, saron, kethuk-kenong, kempul barang dan gong suwuk-an. Irama
gamelan pada umumnya sangat monotoon seperti irama kuda lumping (jathilan). Pada setiap
adegan jejeran ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandang Gula,
Sinom, Pangkur, Asmaradana dan lain sebagainya. Tembang-tembang tersebut berperan
sebagai suluk dalam pertunjukan wayang kulit.

Pada masa lalu pertunjukan wayang Klithik merupakan pertunjukan ritual sakral tak ubahnya
seperti pertunjukan wayang kulit Purwa. Namun karena kondisi dan vareasi pertunjukannya
yang secara teknis terlalu statis serta dalang yang berpegang teguh pada aturan baku dan
sangat terikat pada lakon tertentu, tanpa mau mengembangkannya, sehingga pertunjukan
tersebut tidak mampu memenuhi selera zaman dan banyak penonton yang meninggalkannya.
Selain itu ceritanyapun berkisar pada babad Majapahit tanpa timbulnya cerita-cerita carangan
atau gubahan baru. Pengaruh modernisasi dan waktu memang membuat banyak upacara-
upacara ritual yang sakral serta seni budaya tradisional makin lama makin lenyap karena
telah kehilangan pamornya.
2.3.2.12 Wayang Sabrangan (1704)

Paku Buwono I (1704 – 1719) membuat wayang Sabrangan atau tokoh dari daerah seberang
dengan pemakaian baju pada tahun 1703 (1625 Caka, dengan sengkalan: buta nembah ratu
tunggal). Wayang tersebut merupakan salah satu jenis dari wayang purwa di samping jenis
wayang raksasa (raseksa) dan kera (kethek).

2.3.2.13 Wayang Rama (1788)

Paku Buwono IV (1788 – 1820) membuat wayang Rama yang khusus diciptakan untuk
mempergelarkan cerita-cerita dari kitab Ramayana. Dalam wayang tersebut terdapat banyak
wayangwayang kera dan raksasa, yang dibuat pada tahun1815 (1737 Caka, dengan
sengkalan: swareng pawaka giri raja).

2.3.2.14 Wayang Kaper

Wayang kaper adalah wayang yang ukurannya lebih kecil di banding wayang Kidang
Kencana. Wayang ini pada umumya digunakan untuk permainan anak-anak yang mempunyai
bakat mendalang. Yang membuat wayang kaper tersebut umumnya orang kaya atau kaum
bangsawan untuk menghibur diri dan untuk permainan anak cucu mereka. Wayang tersebut
disebut kaper karena kecil bentuknya, kalau dimainkan sabetan tidak begitu lincah dan hanya
nampak menggelepar-gelepar saja. Bilamana kena cahaya lampu, geleparangeleparan itu
bagaikan kupu-kupu kecil yang terbang dekat lampu di malam hari. Pementasan wayang
kaper tersebut menggunakan kelir dan blencong yang biasa dilakukan dalang anak anak
(bocah) dengan mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata. Seperti halnya
wayang kulit Purwa lainnya, wayang Kaper tersebut dibuat dari kulit yang ditatah dan
disungging pula.

2.3.2.15 Wayang Tasripin

Tasripin almarhum seorang saudagar kaya yaitu pedagang kulit di Semarang, Jawa Tengah.
Tasripin membuat wayang kulit gaya Yogyakarta dicampur gaya Pesisiran dengan ukuran
luar biasa besarnya. Dibuat wayang tokoh Arjuna sebesar tokoh Kumbakarna, wayang
terbesar dan tertinggi dari wayang pedalangan, sedangkan wayang-wayang lainnyapun ikut
membesar dan sebanding dengan wayang Arjuna tadi. Wayang-wayang sebesar itu tidak
mungkin untuk dipentaskan karena terlalu besar dan berat serta tidak ada seorang dalangpun
yang mampu memainkannya. Wayang-wayang tersebut dilapisi kertas emas (diprada),
ditatah serta disungging, dan hanya untuk pameran belaka yang kemudian disebut wayang
Tasripin.

2.3.2.16 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun.

Wayang Kulit Betawi ini merupakan satu-satunya teater boneka di kalangan masyarakat
Betawi. Grup wayang kulit ini masih terdapat di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan,
Jakarta Barat, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Wilayah Bekasi terutama Kecamatan Tambun
merupakan wilayah yang paling potensial bagi wayang kulit Betawi tersebut, baik dalam arti
kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat dimaklumi kalau ada beberapa orang yang
menamakan teater ini dengan nama wayang Tambun. Para ahli pedalangan berpendapat,
bahwa wayang kulit Betawi berasal dari Jawa Tengah, yang kedatangannya di Jakarta dan
sekitarnya dihubungkan dengan penyerangan Sultan Agung ke Batavia (Batavia = Jakarta)
pada zaman Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen (1628 – 1629). Bila dibandingkan dengan
bentuk-bentuk wayang kulit di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari Cirebon,
Indramayu, Pamanukan, Cilamaya, Karawang sampai Tambun dan Jakarta, nampak pada
wayang kulit tersebut adanya persamaan

yang cukup mencolok, sehingga pendapat yang mengatakan, bahwa wayang kulit Betawi
merupakan suatu pengaruh yang beranting dari Jawa Tengah.

Adanya persamaan temperamen antara wayang kulit Betawi dengan wayang kulit Banyumas,
ini dapat terlihat dengan adanya persamaan pada alat musik pengiring yang berupa gambang.
Pada wayang kulit Betawi di masa lampau, alat musik gambang tersebut di buat dari bambu
seperti gamelan Calung pada wayang kulit Banyumas. Wayang kulit Betawi ini banyak
mendapat pengaruh dari wayang Golek Sunda, baik dalam lagu, sabetan, dan lakonnya.
Dalam hal lagu walaupun iramanya sepintas lalu Sunda, pada hakekatnya lagu-lagu ini adalah
perpaduan antara Sunda dan Betawi, yang sejak semula sudah ada pada musik Gamelan
Ajeng Betawi. Kaidah adalah apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka. Benar atau
tidaknya ajaran tersebut, bilamana ditinjau dari kaidah dan yang ada di Jawa Tengah, tidaklah
menjadi halangan bagi mereka. Wayang kulit Betawi pada hakekatnya benar-benar
merupakan suatu seni rakyat yang unsur improvisasi dan spontannitasnya mengambil bagian
yang terbanyak dari suatu pertunjukan. Keterlibatan penabuh gamelan terlihat sangat kental
dan bahkan para penonton juga terlibat dalam pertunjukannya, hal tersebut terjadi secara
spontan dan wayang kulit Betawi memang benar-benar menampilkan sesuatu yang spesifik
dalam seni rakyat dimana pemain dan penonton melebur menjadi suatu totalitas yang akrab.

Cerita yang ada pada wayang kulit Betawi hanya mengandalkan apa yang mereka sebut
Kanda Keling dan Kanda Mataram. Kanda Keling adalah apa yang diterima dari guru
mereka, sehingga dua orang dalang yang berguru pada dua orang guru yang berlainan, bisa
memainkan lakon yang berbeda pula. Sedangkan Kanda Mataram adalah lakon yang dikarang
atau diciptakan ki dalang sendiri dengan memasukan hal-hal baru di dalamnya, dan dalang
menutup pertunjukannya dengan lagu Wayangan Giro. Dari segi sastra, wayang Tambun
sudah sejak dulu memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, yaitu bahasa
Indonesia Kuna (Melayu) yang lazim dipakai masyarakat Tambun dengan corak iringan
gamelan yang bernada ke-Sundaan. Bagi masyarakat Betawi, wayang Tambun ini disebut
Wayang Kulit Tambun.

2.3.2.17 Wayang Ukur


Tergugah oleh jiwa seninya pada masa kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di
Yogyakarta, Sukasman merasa heran mengapa dalam Akademi tersebut, seni rupa wayang
yang telah merupakan suatu masterpiece yang adiluhung itu tidak dimasukan kurikulum.
Setelah memperhatikan bentuk-bentuk wayang dari zaman ke zaman yang telah diciptakan
sejalan dengan pengungkapan jiwa manusia, maka terlihatlah bahwa wayang-wayang itu
mendapatkan perubahan-perubahannya, baik dalam bentuk tinggi besarnya maupun dalam
ornamen-ornamennya, contoh, seperti yang terlihat pada tokoh Kresna. Pada gaya Surakarta
tokoh tersebut dilengkapi dengan garuda mungkur pada irah-irahannya, sedang gaya
Yogyakarta memakai merak mungkur. Demikian pula nampak jelas bila kita perhatikan
ornamen-ornamen wayang kulit gaya pesisiran, antara lain wayang kulit Cirebon dan wayang
kulit Pekalongan.

Terkesan oleh perubahan-perubahan bentuk serta ornamen- ornamen pada wayang, yang jelas
nampak pada gaya Surakarta, Yogyakarta dan Cirebon serta Kedu, maka pada tahun 1964
Sukasman telah menciptakan jenis wayang baru yang dinamakan wayang Ukur, yang proses
pembuatannya selalu diukur-ukur bentuk tinggi dan panjang pundak wayang-wayang
ciptaannya itu. Berkalikali ia mengadakan perubahan-perubahan pada beberapa bagian
bentuk wayangnya sampai ia merasa puas akan hasil ciptaanya yang cocok dengan rasa dan
jiwa seninya. Dalam mengadakan perubahan perubahan tersebut ia membuat ukuran sendiri,
sehingga berdasarkan teknik pembuatannya itu, maka wayang ciptaannya itu dinamakan
wayang Ukur. Sunggingan serta tatahan wayang tersebut nampak lain dari wayang purwa
biasa dan ini memang merupakan ciri khas dari wayang Ukur ciptaan Sukasman. Dalam
pertunjukannya, wayang Ukur menggunakan kelir sebagai tempat memainkan wayang
(jagadan wayang).

2.3.2.18 Wayang Mainan (Dolanan)

Wayang sebagai karya seni mencakup seni rupa, seni ketrampilan, dan seni khayal. Harus
diakui pula wayang yang konon lahir di India dan kini hidup serta berkembang di Jawa itu,
sekarang telah menjadi milik bangsa Indonesia sebagai suatu karya seni tradisional Indonesia.
Anak-anak di desa sering dalam menggembalakan ternak meluangkan waktu untuk membuat
boneka-boneka wayang dari tangkai-tangkai rumput atau tangkai daun singkong.
Dianyamnya beberapa genggam batang rumput atau daun singkong tersebut hingga berbentuk
wayang dan dimainkannya dengan berkhayal sebagai seorang dalang wayang yang pernah
dilihatnya. Wayang-wayang tersebut biasa dinamakan wayang Suketan (rumput) atau wayang
Domdoman (nama jenis rumput), karena rumput yang biasa mereka gunakan untuk membuat
wayang tersebut adalah jenis rumput domdoman.

Selain dari bahan rumput atau daun singkong, dapat pula mereka membuatnya dari daun
kelapa (blarak), tapi hasil karya wayang- wayang tersebut tidak dapat bertahan lama. Jika
diinginkan hasil karya yang dapat bertahan agak lama, biasanya mereka membuat wayang
Bambu. Wayang jenis ini dapat dijumpai di daerah Wonosari, Yogyakarta, yang dibuat dari
irisan-irisan bambu yang dianyam, sehingga berbentuk boneka wayang. Akan tetapi, kini
telah banyak diperdagangkan yaitu wayang yang terbuat dari kardus untuk mainan anak-anak.
Wayang kardus ini bahan dasarnya adalah kardus atau karton bekas pembungkus yang di beri
warna ala kadarnya dan ditatah sangat sederhana. Maka jelas bahwa wayang-wayang tersebut
tidak dapat tahan lama dan mudah rusak.

Di Yogyakarta hingga tahun 1984 masih dapat dijumpai wayang- wayang kardus hasil
pengrajin wayang. Wayang-wayang tersebut sering dipakai oleh siswa-siswa dalang atau
untuk penguburan tokoh. Wayang yang perlu dikubur atau dihanyutkan di laut (dilabuh)
setelah gugur dalam pementasan, antara lain: Kumbakarna, Durna, dan lain-lainnya. Untuk
penguburan ataupun labuhan wayang-wayang tersebut diperlukan upacara tersendiri.
Wayang sebagai mainan anak-anak pernah pula dijumpai di Yogyakarta tempo dulu, bahkan
sampai ke kota Batavia atau Betawi (Betawi = Jakarta) yang terbuat dari singkong, wayang
tersebut dinamakan wayang Telo (singkong) di Yogyakarta, wayang Opak (Jakarta) yang
terbuat dari parutan telo (ampas singkong) dan dibentuk seperti boneka wayang dan diberi
gapit (tangkai wayang) dari bambu.

2.3.2.19 Wayang Batu atau Wayang Candi (856)

Dari uraian di atas, maka terdapatlah suatu dasar dalam pemberian nama jenis wayang yang
antara lain karena ceritanya, sehingga wayang tersebut dinamakan wayang Purwa, wayang
Menak, ataupun wayang Madya. Bila dilihat dari segi pertunjukannya atau pementasannya
dengan membeberkan wayang-wayang tersebut maka wayang itu dapat dinamakan wayang
Beber. Sedangkan kalau dilihat dari segi bonekanya, maka wayang itu dapat dibagi menjadi
wayang Golek, wayang Kulit, wayang Wong (orang) dan sebagainya. Dengan adanya cerita-
cerita wayang yang tergambar secara permanen pada dinding candi sebagai hiasan, maka
dikenal orang sebagai wayang Batu atau wayang Candi, yang antara lain terdapat pada candi
atau tempat-tempat pemujaan sebagai berikut Candi Prambanan ( + tahun 856), 17 km dari
Yogyakarta di tepi jalan raya Yogyakarta – Surakarta, memuat cerita tentang Kresna, Candi
Lara Jonggrang ( + tahun 856) dalam kompleks Candi Prambanan, memuat cerita Ramayana,
Pemandian Jalatunda, Malang, Jawa Timur ( + 977), memuat cerita Sayembara Drupadi, Gua
Selamangkleng di Kediri, Jawa Timur abad ke-X memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi Jago
di Tumpang, Malang, Jawa Timur ( + tahun 1343), memuat cerita Tantri, Kunjarakarna,
Partayadna, Arjuna Wiwaha dan Kresnayana, Gua Pasir di Tulungagung, Jawa Timur, ( +
1350), memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi Penataran di Blitar ( + 1197 – 1454), memuat
cerita Sawitri dengan Setiawan yang disertai panakawan gendut, dan cerita Ramayana, Candi
Tegawang di Kediri ( + 1370), memuat cerita Sudamala, dengan Sadewa yang diiringi
panakawan bertubuh gendut dan Durga diikuti oleh dua orang raseksi, Kedaton Gunung
Hyang ( + 1370), memuat cerita abad ke-XV, yakni cerita tentang Rama, Bimasuci,
Mintaraga, dan cerita Panji, Candi Sukuh dekat Tawangmangu ( + tahun 1440) 36 km dari
Surakarta ke arah timur, memuat cerita Sudamala, Gameda, dan Bimasuci.
2.3.2.20 Wayang Sandosa

Sejak tahun 1984 Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang berkedudukan di Sala-Surakarta
telah melakukan eksperimen baru dengan pergelaran wayang berbahasa Indonesia. Pentas
wayang kulit tersebut dengan sistem pementasan yang menggunakan dua orang dalang atau
lebih. Diilhami oleh pementasan wayang kulit Len Nang dari Kamboja, wayang eksperimen
PKJT yang disebut wayang Sandosa tersebut, merupakan pergelaran yang tidak jauh berbeda
dengan pergelaran wayang kulit biasa. Perbedaannya ialah, bahwa wayang Sandosa
menggunakan beberapa orang dalang dan teknik mendalangnya dilakukan dengan cara
berdiri, juga latar pakeliran wayang Sandosa dibuat lebih besar dan lebih tinggi dari pada
pakeliran wayang kulit biasa.

Dalam pementasan wayang Sandosa yang diselenggarakan selama satu atau dua jam itu, tidak
selalu dimulai dengan suluk ki dalang. Bunyi gamelan tidak lagi selaras pada pagelaran
wayang kulit umumnya, tapi telah merupakan nada dan irama yang beraneka ragam. Hal
tersebut karena cerita yang dipergelarkan dapat dimulai dari suasana perang dan diiringi
gending yang berirama gobyog temporer. Walaupun dari segi iringan telah keluar dari aturan-
aturam gending tradisional dan atau wayang pada umumnya, justru mempunyai daya
komunikasi yang lebih kuat pada kalangan muda. Peragaan wayang dilakukan sambil berdiri
di balik layar yang luas dengan sorot cahaya lampu yang berubah-ubah serta berwarna-
warni. Untuk memperoleh bayangan yang besar maka ki dalang menggerakkan wayang
dengan mendekat ke lampu. Bagaimanapun juga, ternyata wayang Sandosa yang bersifat
kolektivitas dengan bentuk mirip teater di balik layar itu, telah menambah khasanah budaya
bangsa kita.

2.3.2.22 Wayang Wong (Wayang Orang) (1757 – 1760)

Salah satu pengisian Kebudayaan Nasional pada pergelaran wayang serta untuk meresapi seni
dialog wayang (antawacana) dan menikmati seni tembang, K.B.A.A. Mangkunegoro I (1757
– 1795) telah menciptakan suatu seni drama Wayang Wong yang pelaku- pelakunya terdiri
dari para pegawai kraton (Abdi Dalem). Menurut K.P.A. Kusumodilogo dalam bukunya yang
berjudul Sastramiruda tahun 1930 menyatakan, wayang wong tersebut dipertunjukan untuk
pertama kalinya pada pertengahan abad ke-XVIII ( + 1760). Konon wayang ini mendapat
tantangan yang hebat, bahkan dengan adanya perubahan bentuk tersebut diramalkan orang
kelak akan timbul kesulitan atau celaka dan penyakit, demikian menurut disertasi Dr. G- .A.J.
Hazeu di Leiden pada tahun 1897 dengan judulnya Bijdrage tot het Kennis van het
Javaansche Tooneel. Ternyata pendapat tersebut adalah tidak benar, karena setelah
pergelaran wayang wong ini di tangani sendiri oleh Mangkunegoro V pada tahun 1881,
wayang tersebut menjadi hidup kembali.

Sesuai dengan nama atau sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan
memainkan boneka-boneka wayang, melainkan menampilkan menusia-manusia sebagai
pengganti boneka wayang. Kini nampak jelas, bahwa jenis-jenis wayang seperti wayang
Purwa, wayang Gedog, mendapatkan namanya dari sifat cerita yang ditampilkan, sedangkan
wayang Golek, wayang Wong berdasarkan ciri-ciri teknis ataupun bentuk pada boneka-
bonekanya. Sebagai seni hiburan, wayang Wong telah tersebar luas dan dibeberapa kota besar
telah berdiri perkumpulan-perkumpulan wayang orang dengan berbagai macam nama serta
mutunya. Namun umumnya perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi wayang
tersebut merupakan wayang orang Purwa, karena pementasannya menggunakan cerita epos
Ramayana dan Mahabharata serta dengan iringan gamelan Jawa laras Slendro dan Pelog.

Sumber :

Supriyono dkk, 2008, Pedalangan Jilid 1 untuk SMK, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional, h. 17 – 38.

http://gurumuda.com

Anda mungkin juga menyukai