LAPORAN KHUSUS

Derita Warga Nusa Tenggara di Tapal Batas: Kami Bagai Dijajah

Raja Eben Lumbanrau | CNN Indonesia
Rabu, 17 Agu 2016 08:31 WIB
Jaringan telekomunikasi di Fatubesi, Nusa Tenggara Timur, berasal dari Timor Leste. Jika telepon ke nomor Indonesia, biaya 10 menit satu Dolar Amerika.
Dua warga eks Timor Timur melewati perbukitan Aitaman untuk mencari kayu bakar di Desa Manleten, Tasifeto Timur, Atambua, Nusa Tenggara Timur. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Belu, CNN Indonesia -- Angin berembus kencang, menderu, di perbukitan Laktutus, Desa Fohoeka, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Di atas salah satu bukit, rumah ibadah sedang dibangun. Para pekerja konstruksi mengenakan jaket, melawan dingin udara sore.

Di timur, barisan bukit lain menjulang, bernaung awan putih kapas. Wilayah itu bukan lagi Nusa Tenggara, tapi Subdistrik Fatumea di bawah pemerintahan Republik Demokratik Timor Leste.

Bukit-bukit tersebut ialah saksi bisu tragedi hidup manusia. Peperangan, pembunuhan, dan eksodus menjadi catatan kelam Indonesia dan Timor Leste. Ribuan nyawa melayang. Suara tembakan dan ledakan bom bak alunan perkusi yang mengisi gendang telinga setiap hari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itu pasca-referendum 1999, sanak saudara terpaksa berpisah karena perubahan politik besar di daerah itu: Timor Timur merdeka.

“Kami di sini (Fohoeka) dan mereka di sana (Fatumea) masih satu darah, satu leluhur, satu bahasa, dan satu budaya. Politik dan kekerasan memisahkan kami,” kata tokoh masyarakat Laktutus, Paulinus Halek, berbincang dengan CNNIndonesia.com di muka gereja sambil ditemani segelas sopi, minuman beralkohol khas warga timur Indonesia.

ADVERTISEMENT

Menuju pos perbatasan Indonesia-Timor Leste di Fohoeka, Dusun Fatubesi terbentang di kelokan kiri jalan. Fatubesi di Nusa Tenggara Timur dan Fatumea di Timor Leste hanya berjarak satu bukit.

Ironisnya, jaringan telekomunikasi di Fatubesi berasal dari Timor Leste. Warga yang ingin menelepon kawan atau kerabatnya di Indonesia harus memencet kode negara +62 (Indonesia). Sebaliknya, sahabat atau famili mereka di Indonesia yang hendak menghubungi harus menggunakan kode +670 (Timor Leste) meski Fatubesi bagian dari Indonesia.

Jaringan telekomunikasi di Fatubesi berasal dari Timor Leste, Telemor. Tak ada jaringan Indonesia di sini. (CNNIndonesia/Raja Eben Lumbanrau).
“Tidak ada jaringan telekomunikasi Indonesia di sini. Yang masuk malah dari Timor Leste, yaitu Telemor. Kalau mau telepon ke nomor Indonesia, biayanya 10 menit satu Dolar Amerika. Kami seakan-akan dijajah oleh Timor Leste,” kata Kepala Dusun Fatubesi, Yosep Laumau, Rabu (3/8).

Telekomunikasi bukan satu-satunya persoalan di Fatubesi yang mayoritas penduduknya petani dan gembala sapi. Infrastruktur minim membuat orang yang hendak ke dusun itu mesti melintasi jalan kecil berbatu-batu.

Pendidikan sama buruknya. Tak ada Sekolah Menengah Atas di Fatubesi. Murid yang ingin melanjutkan pendidikan ke bangku SMA harus pergi ke Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, yang berjarak sekitar 60 kilometer.

“Di sini hanya ada Sekolah Dasar dari kelas satu sampai tiga, dengan tiga ruangan dan tiga guru. Kelas empat sampai enam lanjut ke SD Laktutus. SMK di Laktutus yang berjarak sekitar tiga kilometer dari sini,” ujar Yosep.
Dua bocah eks Timor Timur menemani orang tua mereka mencari kayu bakar di Desa Mauleten, Tasifeto Timur, Atambua, Nusa Tenggara Timur, Jumat 12 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Persaudaraan pudar

Kehidupan di Fohoeka bukan cuma sulit karena fasilitas publik yang tak memadai, tapi juga sebab lunturnya jalinan silaturahmi keluarga. Patok-patok perbatasan tak bernyawa yang menjadi batas pemisah antara Indonesia dan Timor Leste, merenggut hangat kehidupan warga.

Paulinus Halek berkata, banyak kerabatnya yang tinggal di Distrik Fatumea, Timor Leste. Dalam referendum 1999, Paulinus memilih Indonesia, sedangkan saudara-saudaranya memilih Timor Leste. Alhasil meski jarak hanya dipisahkan bukit, mereka kini jadi jarang bertemu karena aturan batas negara yang ketat.

“Kami hanya bisa ke sana atau mereka ke sini jika ada acara adat seperti kelahiran, kematian, dan pernikahan. Misal ada paman di sini yang meninggal, maka keponakannya di seberang harus menghadiri pemakamannya,” ujar Paulinus.

Tanpa patok-patok perbatasan, Fohoeka dan Fatumea sesungguhnya satu. Kini kedua wilayah itu bagai desa kembar, dengan jejeran rumah adat dan budaya serupa.

Meski kehidupan tak berjalan mulus di tapal batas, Paulinus tak menyesal memilih Indonesia. Ia mencintai Indonesia sepenuh hati di tengah segala kekurangan dan keterbatasan fasilitas yang diberikan pemerintah kepada warganya. Pun meski listrik baru mengaliri desanya tiga bulan lalu, Mei 2016.
Pudarnya persaudaraan juga terjadi di titik lain perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yakni di utara Pulau Timor antara warga Insana Utara dengan penduduk Distrik Oekusi, Timor Leste. Mereka sesungguhnya keluarga besar Suku Dawan yang memiliki ikatan darah, budaya, dan bahasa.

“Hampir tidak bisa dibedakan ketika warga negara Indonesia ke sana (Oekusi) atau mereka (warga Oekusi) ke sini (Insana Utara). Pakaian adat sama, bahasa sama, budaya sama. Tapi karena politik, mereka terpisah. Relasi dan interaksi jadi sangat terbatas,” kata Romo Kanisius Oki Pr, Deken Dekenat Mena, Keuskupan Atambua, Nusa Tenggara Timur.

Dekenat ialah wilayah yurisdiksi atau himpunan gerejawi dalam Gereja Katolik Roma. Dekenat dipimpin seorang deken, yakni imam yang diangkat oleh Uskup Diosesan –uskup yang bertugas di suatu wilayah keuskupan.

Romo Kanisius mengatakan, banyak pertalian keluarga putus setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, bak harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan.

“Kalau ada anggota keluarga meninggal di seberang, warga yang hendak ke sana harus memiliki paspor atau surat perjalanan (pas) lintas batas, dan mengurus izinnya sulit. Akhirnya warga tidak saling berkunjung, atau memilih lewat jalan tikus. Hanya, kalau tertangkap di jalan tikus itu urusannya panjang dan harus melalui proses hukum,” ujar Romo Kanisius.

Komandan Pos Perbatasan Laktutus, Sersan Satu TNI Nur Hidayat, berkata, “Lintas batas, berdasarkan kebijakan Bupati Belu, boleh dilakukan dalam kondisi tertentu seperti kematian, pernikahan, dan kunjungan keluarga. Siapa yang masuk dan keluar, kami data. Mereka meninggalkan kartu identitas.”

Komandan Pos Perbatasan Laktutus, Sertu TNI Nur Hidayat, berpatroli berkeliling 30 patok perbatasan sembari memandang perbukitan Timor Leste. (CNN Indonesia/Raja Eben Lumbanrau)
Jalur resmi menuju Timor Leste kerap memiliki rute lebih panjang dan memutar sehingga warga enggan melaluinya. Sebagian dari mereka memilih memotong jalan lewat jalur ilegal karena jarak tempuhnya lebih singkat.

Pastor Paroki Gereja Hati Kudus Yesus Laktutus, Pater Yohanes Kristovorus Tara OFM, mengatakan sampai sekarang fasilitas publik di Laktutus amat terbatas.

“Pemerintah minimal perhatikanlah kebutuhan substansial publik seperti jalan, air, listrik, dan telekomunikasi. Selebihnya, masyarakat bisa buat sendiri. Tapi untuk fasilitas umum yang vital, itu tugas dan kewajiban pemerintah (untuk membangun),” kata Pater Yohanes.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah status hukum tanah warga di Laktutus yang belum jelas lantaran merupakan bagian dari kawasan hutan lindung. Ketidakjelasan status tanah itu berpotensi memicu konflik di kemudian hari jika diklaim oleh Timor Leste.

Dengan situasi seperti ini, ujar Pater Yohanes, penduduk daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste di Pulau Timor sesungguhnya belum merasakan kemerdekaan.

[Gambas:Video CNN] (rel/agk)
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER